I.
HAJI
DAN UMROH
A.
Pngertian
Haji dan Umroh
Haji dalam bahasa Arab : Hajj atau hijj, yng berarti menuju atau mengunjungi sesuatu. Sedangkan
menurut istilah agama ialah mengunjungi Ka’bah dan sekitarnya di kota Makkah
untuk mengerjakan ibadah thawaf, sa’I, wukuf di Arafah dan sbagainya
semata-mata demi melaksanakan perintah Allah dan meraih keridhaan-Nya.
Sedangkan kata ‘Umroh berasal dari I’timar yang berarti ziarah. Yang dimaksud
disini adalah menziarahi Ka’bah dan berthawaf di sekelilingnya, bersa’i antara
bukit Shafa dan Marwah, serta mencukur (atau memotong) rambut (tanpa wukuf di
Arafah).
B. Persyaratan wajib Haji
Kemampuan
yang merupakan salah satu wajib haji meliputi beberapa hal, yaitu:
1. Kemampuan
fisik untu perjalanan menuju Makkah dan mengerjakan kewajiban-kewajiban haji.
Seseorang yang tidak memilii kemampuan fisik karena usia lanjut, atau penyakit
menahun yang tidak diharapkan kesembuhannya lagi, sedangkan ia mempunyai cukup
harta untuk pergi haji, wajib mewakilkan orang lain (biasa disebut badal) untuk
berhaji atas namanya, ia sendiri sebelum itu harus telah menunaikan wajib haji
atas namanya sendiri.
2. Perjalanan
yang aman ketika pergi dan pulang, terhadap jiwa dan harta seseorang. Seandainya
terdapat kekhawatiran adanya kawanan perampok atau wabah penyakit dalam
perjalanan, maka ia belum wajib haji karena belum dianggap berkemampuan untuk
itu.
3. Memiliki
cukup harta untuk keperluan makanan dan kendaraan untuk dirinya sendiri selama
perjalanan, maupun untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan, sampai kembali
lagi kepada mereka.
C.
Izin
suami bagi isteri yang menunaikan ibadah haji
Dianjurkan bagi seorang perempuan yang hendak
melakukan ibadah haji yang telah wajib atas dirinya, meminta izin dari
suaminya. Tapi seandainya suaminya tidak mau memberikan izin, lalu isteri tetap
pergi juga, maka ia tidak dianggap berdosa. Hal ini mengingat bahwa seorang
suami tidak berhak menghalangi isterinya dari haji yang fardhu. Sedangkan Nabi
Muhammad SAW telah menegaskan tentang tidak dibenarkannya menaati seorang
makhluk dalam suatu pembangkangan terhadap Allah SWT.
Lain halnya apabila isteri ingin mengerjakan haji tathawwu’ (haji sunnah, setelah
ditunaikannya haji wajib). Dalam hal ini suami berhak melarangnya, mengingat
sebuah hadits Nabi SAW riwayat ibn umar r.a tentang seorang perempuan yang
memiliki harta untuk berhaji, sedangkan sang suami melarang, “ Ia tidak boleh berangkat kecuali seizing
suaminya.” (HR.Daruquthni).
D.
Berhaji
Dengan Biaya Dari Orang Lain
Seandainya ada orang lain bersedia memberinya semua
atau sebagian dari biaya hajinya, maka ia tidak wajib menerimanya, jika hal itu
akan membuatnya merasa rendah diri akibat berhutang budi. Karena itu pula, ia boleh
saja menolak pemberian seperti itu. Dan dengan penolakannya itu pula ia tidak
dapat disebut telah memiliki kemampuan. Walaupun demikian jika ia bersedia
menerima pemberian tersebut, lalu melaksanakannya maka hajinya itu tutap sah
sebagai hajjat al-islam
(sehingga tidak ada lagi kewajiban
berhaji atas dirinya, kecuali jika ia ingin ber-tathawu’).
E.
Berhutang
Untuk Haji
Diriwayatkan dari Abdullah bin Aufa bahwa ia pernah
bertanya pada Rasulullah Saw tentang seorang yang belum mampu berhaji: apakah
ia harus berhutang untuk itu? Jawab beliau, “Tidak”.
(HR.Al-Baihaqiy)
F.
Berhaji
Dengan Uang Haram
Banyak ulama berpendapat bahwa haji seseorang yang
dibiayai dengan uang haram tetap dianggap sah (yakni cukup untuk menggugurkan
kewajibannya berhaji), walaupun dosanya tidak terhapus karenanya.
Akan tetapi Imam Ahmad berpendapat bahwa hajinya
tidak cukup untuk menggugurkan kewajibannya, mengingat sabda Nabi Saw dalam
sebuah hadits shahih: “sungguh Allah adalah
Maba baik, tidak menerima kecuali yang baik.”
Oleh sebab itu, wajiblah atas setiap orang
membersihkan harta yang akan digunakannya untuk berhaji, dari segala suatu yang
syubhat apalagi yang haram. Agar hajinya itu diterima Allah SWT.
G.
Meninggalkan
Segala Kemewahan Ketika Sedang Berhaji
Rasulullah Saw melarang orang yang sedang berhaji
menampakan kemewahan dan kekayaan, serta cara hidup yang bernikmat-nikmat. (HR.
Tirmidzi dan Ibn Majah dari Ibnu Umar).
H.
Fadhilah
(Keutamaan) Haji dan Umroh
Dirawikan oleh Abu Hurairah r.a bahwa Nabi Saw
pernah bersabda, “Masa antara suatu
ibadah umroh dan umroh lainnya, adalah masa kaffarah (penghapus) bagi dosa dan
kesalahan yang terjadi diantara kedua-duanya. Sedangkan haji yang mabrur tidak
ada ganjarannya kecuali surga. (HR. Bukhari Muslim).
I.
Dalil
Wajib Haji
Ibadah Haji diwajibkan berdasarkan firman Allah SWT: “Sesunggyhnya rumah Ibadah yang mula
pertama dibangun bagi manusia adalah yang berada di Bakkah (Makkah), yang
diberkahi dan dijadikan petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat
tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim. Siapa saja yang memasukinya,
akan mendapati dirinya aman. Dan sesungguhnya mengunjungi rumah itu (untuk
berhaji) adalah kewajiban yang ditetapkan Allah atas manusia yang memiliki
kemampuan melakukan perjalanan
kepadanya. Dan barangsiapa mengingkari (kewajiban tersebut), maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS Ali
Imran:96-97)
Dalam hadits Nabi pun ibadah haji merupakan salah
satu diantara lima rukun islam: “Islam dibangun atas lima dasar; syahadat,
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusanNya, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan Haji. (HR Bukhari dan Muslim).
II.
PELAKSANAAN
MANASIK HAJI
A.
Miqat
Zamani (Batasan Waktu dimulainya Ibadah Haji)
Miqat Zamani adalah waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan
bagi pelaksanaan Ibadah Haji yaitu bulan Syawal, Dzul-Qi’dah dan sepuluh malam
pertama bulan Dzul-Hijjah (sampai sebelum terbit fajar tanggal sepuluh
Dzul-Hijjah atau biaasa disebut (yaum
an-nahr).
Sebabnya, diantara rukun-rukun haji adalah wukuf di
Arafah yang waktunya berakhir dengan terbitnya fajar tanggal sepuluh
Dzul-Hijjah. Maka barangsiapa baru memulai ihram setelah itu maka hajinya
dinilai tidak sah karena meninggalkan salah satu rukun, yaitu wukuf di Arafah.
Adapun ihramnya itu secara otomatis menjadi ihram untuk umroh. Ia diharuskan
mengerjakan rukun-rukun umroh dan menyembelih seekor domba sebagai dam.
Dan pada tahun berikutnya bila taka da hambatan yang
serius menghalanginya ia wajib mengqadha’ (mengulang dan memulai lagi) hajinya
secara sempurna.
B.
Miqat
Makani (Batasan tempat dimulainya ibadah haji)
Ada
beberapa tempat tertentu, yang oleh Rasululloh SAW telah dinyatakan sebagai
Miqat makani, tempat yang tidak boleh dilewati oleh seseorang yang hendak
berhaji, kecuali dalam keadaan telah berihram. Kalaupun ia melewatinya tanpa
berikhram, mak wajiblah ia kembali lagi ke tempat itu untuk berikhram. Atau
jika tidak ia diwajibkan membayar dam untuk menggantikan pelanggrannya itu.
Tempat miqat makani tersebut adalah:
1. Dzu’l-hulaifah
(kini disebut birali; kira-kira 450 km dari makkah) untuk jamaah haji yang datang
dari arah kota Madinah.
2. Juhfah
(kira-kira 187 km dari Makkah) untuk jamaah haji yang datang dari arah Syam.
Kini tempat itu sudah rusak dan digantikan dengan rabigh (kira-kira 204 km dari
Makkah) untuk jamaah haji dari arah Syam, Mesir dan yang sejajar dengannya.
3. Qarn
Al-Manazil (sebuah bukit, kira-kira 94 km sebelah timur Makkah) untu jamaah
haji yang datang dari arah nejed dan yang sejajar dengan itu.
4. Yalamlam
(kira-kira 54 km dari Makkah) untuk para jamaah haji yang datantg langsung dari
arah Yaman, India, Indonesia dan yang searah dengan itu).
(berdasarkan ijtihad
sebagian para ulama Indonesia, dimasa sekarang ini, Miqat jamaah haji dari
Indonesia, terutama yang datang dengan pesawat udara, adalah kota Jedah di
Saudi Arabia.
5. Dzatu
‘irq (kira-kira 94 km dari Makkah) untuk para jamaah haji yang datang dari Irak
dan yang sejajar dengannya.
Adapun
penduduk yang dari kota Makkah, boleh ber-ihram dari rumah mereka
masing-masing.
C.
Rukun
dan Wajib dalam Ibadah Haji
Rukun adalah sesuatu yang tidak sah haji kecuali
dengan mengerjakannya dan tidak boleh diganti dengan dam, diantaranya:
1. Ihram
(niat haji)
2. Tawaf
ifadhah
3. Sa’iy
antara bukit Shafa dan Marwah
4. Wukuf
di Arafah
5. Mencukur
atau memotong sedikitnya tiga helai rambut.
Wajib adalah sesuatu yang harus dikerjakan, walaupun
sahnya haji tidak bergantung padanya. Tetapi jika tidak dikerjakan harus
diganti dengan dam. (menyembelih seekor hewan ternak). Yang termasuk wajib haji
adalah:
1. Ihram
dari miqat
2. Melontar
ketiga jumrah (jumrah ula, wustha dan Aqabah)
3. Mencukur
atau memotong sedikitnya tiga helai rambut.
III.
IHRAM
(NIAT MEMULAI IBADAH HAJI ATAU UMROH)
Ihram adalah niat untuk
mulai memasuki ibadah haji atau umroh. Ihram merupakan salah satu rukun haji
dan umroh seperti hal nya niat dalam ibadah shalat, puasa dan sebagainya, tida
boleh ditinggalkan dan bergantung padanya sah atau tidaknya ibadah tersebut.
A.
Berbagai
Persiapan Sebelum Ihram
1. Menjaga
kebersihan tubuh. Yaitu dengan menyisiri rambut, merapikan kumis dan jenggot, memotong kuku,
menghilangkan bulu-bulu di bawah lengan dan disekitar kemaluan serta berwudhu,
atau lebih utama lagi mandi, seperti mandi janabat. Mandi menjelang ihram ini,
disebut juga mandi ihram.
Bahkan seorang
perempuan yang dalam keadaan haid dan hendak berihram pun, dianjurkan untuk
“mandi ihram”.
2. Khusus
untuk laki-laki, menanggalkan semua pakaian yang berjahit (atau yang
melingkungi, seperti sarung, celana, kemeja, dan sebagainya), lalu
menggantikannya dengan dua potong pakaian putih yang biasa disebut ‘pakaian
ihram’. Yaitu satu untuk dililitkan sekitar bagian bawah tubuhnya, dan yang
satu lagi di bagian atas tubuhnya.
Adapun bagi perempuan,
berpakaian seperti biasayang menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua
telapak tangan.
3. Disunnahkan
memakai wangi-wangian pada tubuh maupun pakaian.
4. Shalat
dua rakaat dengan meniatkannya sebagai sunnah ihram; pada rakaat pertama
membaca surat Al-Fatihah dan Al-Kafirun, dan pada rakaat kedua membaca
Al-Fatihah dan Al-Ikhlas.
B. Berbagai Cara Berihram
Ada
tiga cara berihram untuk mulai memasuki ibadah haji:
1.
Qiran
Ialah
ber-ihram dari miqat untuk haji dan umroh bersama-sama. Dengan cara ini
cukuplah mengerjakan bagian-bagian dari manasik ibadah haji saja, sedangkan
tugas-tugas umroh secara otomatis terdapat di dalamnya.
2.
Tamattu’
Ialah
mengerjakan umroh pada bulan-bulan haji yakni (pada bulan Syawal, Dzul-Qi’dah,
dan sepuluh malam pertama bulan Dzul-Hijjah lalu diikuti dengan ihram haji itu
juga.
Dalam
haji Tamattu’ ini apabila seseorang telah selesai mengerjakan semua manasik
umrohnya ( berthawaf, ber-sa’iy, dan mencukur atau menggunting rambut), ia
boleh melepas pakaian ihram dan melakukan apa saja yang tadinya terlarang,
seprti mengenakan pakaian berjahit, memakai wangi-wangian dan sebagainya),
bahkan melakukan hubungan seksual dengan isteri, sambil menunggu saat memulai
tugas ibadah haji.
Cara
tamattu’ ini biasanya dipilih oleh para jamaah haji yang tiba di Makkah pada
hari-hari yang masih agak jauh saat wukuf di Arafah
Sedangkan
mereka yang tibanya di Makkah pada hari-hari terakhir, seperti pada tanggal 8
Dzul-Hijjah, atau satu dua hari sebelumnya, biasanya langsung berihram dengan haji,
dan kelak setelah selesai mengerjakan seluruh bagian dari ibadah hajinya, baru
berihram lagi untuk umroh.
3.
Ifrad
Yakni
mengerjakan masing-masing bagian ibadah haji dan umroh sendiri-sendiri.
Bagi
yang mengerjakan cara pertama dan kedua, yakni Qiran dan Tamattu’, diwajibkan
menyembelih seekor domba sebagai pengganti ‘keringanan’ yang diperolehnya,
sedangkan cara Ifrad tidak perlu membayar dam, kecuali jika ia melakukan
pelanggaran lain pada pelaksanaan hajinya itu.
C. Berniat (Ber-Ihram) dan
mengumandangkan Talbiyah
Niat
merupakan perbuatan hati semata-mata, dengan ucapan lisan, misalnya: Nawaitu’l hajja wa ahramtu bihi lillahi
ta’ala (Aku berniat mengerjakan ibadah haji, dan berihram untuknya, karena
Allah semata-mata).
Atau
jika berniat umroh, ia mengucapkan:
Nawaitu’l umrota wa ahramtu biha lillahi ta’ala (Aku berniat mengerjakan
ibadah umroh dan berihram untuknya, karena Allah semata-mata).
Setelah
itu melanjutinya dengan Talbiyah, yaitu menyerukan:
(Inilah
aku, memenuhi panggilan-Mu dan senantiasa patuh kepada-Mu ya Allah. Tiada sekutu
bagi-Mu. Aku di sini, memenuhi panggilan-Mu dan senantiasa patuh kepada-Mu, ya
Allah. Segala puji dan syukur atas nikmat adalah bagi-Mu, milik-Mu lah segala
suatunya. Tiada sekutu bagi-Mu).
Waktu
bertalbiyah ialah sejak dimulainya ihram (untuk haji) sampai dengan saat
melempar jumroh Aqabah (pada hari ke-10 Dzul-Hijjah). Disunnahkan bagi
laki-laki bertalbiyah dengan suara yang keras, sedangkan perempun dengan suara
yang cukup didengar sendiri.
Adapun
waktu menyerukan Talbiyah bagi yang umroh adalah sejak ihram sampai ketika
mulai thawaf.
D.
Larangan
Setelah Ihram
1.
Mengenakan pakaian berjahit dan menutup
kepala atau mengenakan sepatu, kecuali memakai sandal yang tidak menutupi mata
kaki seperti sandal jepit
Adapun
wanita memakai pakaian penutup aurat seperti biasa, tetapi selama dalam ihram
terlarang pula menutup wajahnya (dengan cadar, kecuali tidak menyentuh wajah
secara langsung).
2.
Memakai wangi-wangian pada tubuh atau
pakaian, atau mengenakan pakaian yang dicelup dengan bahan pewangi, kecuali
sisa bau harum dan wangi-wangian yang dipakainya sebelum ihram.
3.
Memotong kuku, menghilangkan rambut atau
bulu badan yang lain dengan menggunting atau mencukur, kecuali terpaksa karena
gangguan yang tak tertahankan.
4.
Melakukan perbuatan yang mengarah pada
hubungan seksual antara suami isteri, seperti mencium, memeluk, meyentuh dengan
syahwat. Bahkan terlarang pula menyebut sesuatu yang berkaitan dengan hubungan
seksual.
5.
Mengakadkan nikah, baik untuk diri
sendiri ataupun untuk dan atas nama orang lain. Kalau tetap saja dilaksanakan,
maka nikah tersebut tidak sah.
6.
Berburu dan membunuh binatang darat yang
liar dan halal dimakan.
Tetapi
dibolehkan bagi seorang muhrim
membunuh binatang yang mengganggu, seperti ular, kalajengking, tikus, kutu dan
sebagainya.
IV.
Tawaf
Tawaf
(thawaf) ialah mengelilingi ka’bah
sebanyak tujuh kali dengan berbagai persyaratan tertentu. Ada beberapa macam
jenis thawaf:
1.
Thawaf
Qudum (thawaf yang berkaitan dengan kedatangan seseorang
yang telah berihram untuk haji ifrad atau qiran ke kota Makkah).
2.
Thawaf
umroh (yang dilakukan seseorang yang telah berihram untuk
umroh).
3.
Thawaf
ifadhah (salah satu rukun haji yang dilakukan setelah wukuf
di Arafah).
4.
Thawaf
wada’ (thawaf perpisahan ketika seseorang akan pulang ke
negerinya sendiri setelah menyelesaikan ibadah hajinya).
5.
Thawaf
tathawwu’ (yang disunnahkan melakukannya kapan saja, atau
setiap memasuki Masjid’l Haram).
A. Memasuki Masjid’l-Haram di Makkah
Bagi
yang memasuki Masjid’l Haram disunnahkan melakukan hal-hal berikut:
a)
Memasuki masjid’l haram melalui pintu
Babus-Salam (Bab Bani Syaibah) dengan khusyu, seraya membaca:
(Dengan
menyebut nama Allah, atas perkenan Allah, dari Allah, kepada Allah, di jalan
Allah dan di atas agama yang dibawa oleh rasulullah saw)
b)
Pada saat melihat Ka’bah di hadapannya,
hendaknya mengangat kedua tangan seraya berdoa:
(Ya
Allah tambahkanlah pada rumah ini kemuliaan, keagungan, kehormatan dan
kewibawaan. Dan tambahkanlah bagi siapa yang mengunjunginya dalam haji atau
umroh kemuliaan, kehormatan keagungan dan kebajikan)
c)
Setelah itu langsung menuju Hajar Aswad
(batu hitam yang berada di salah satu sudut Ka’bah) an menciumnya tanpa suara,
sambil membaca:
(Ya
Allah, demi keimanan kepada Mu, demi pembenaran atas kitab Mu, dan demi
memenuhi perjanjian dengan Mu).
d)
Setelah itu berdiri di samping Hajar
Aswad untuk memulai Thawaf. (Di Masjid’l Haram tidak disyariatkan untuk
melakukan shalat tahiyyat al-masjid ketika memasukinya, seperti di
masjid-masjid lainnya. Sebagai gantinya perbuatan yang dilakukan adalah Thawwaf.
Kecuali pada ssat itu sedang dilaksanakan shalat fardhu berjamaah maka,
hendaklah shalat bersama mereka, dan baru setelah itu memulai Thawaf. Atau
waktu untuk shalat fardhu sudah
mendesak, maka harus dilaksanakan terlebih dahulu, sebelum keluar waktunya).
Thawaf
pertama kali ini bagi seorang yang berihram untuk haji ifrad atau qiran,
disebut Thawaf Qudum (Thawaf karena kedatangan), hukumnya sunnah.
Sedangkan
bagi yang ber-ihram untuk umroh, tawafnya ini merupakan bagian dari rukun-rukun
umrohnya.
B. Cara Melaksanakan Thawaf
a)
Suci dari hadas
b)
Bagi laki-laki disunnahkan untuk
memperbaiki letak kain ihram nya. Bersamaan dengan dimulainya Thawaf, talbiyah
dihentikan. Sebagai gantinya membaca doa-doa Thawaf.
c)
Setelah itu berdiri sedikit di belakang
Hajar Aswad, dengan menjadikan Ka’bah disebelah kiri kemudian melangkah ke
depan, memulai Thawaf dengan melewati Hajar Aswad, seraya mengucapkan:
(Bismillah,
Allahu Akbar. Ya Allah, kulakukan ini sebagai pernyataan keimananku kepada-Mu,
pembenaran atas kitab-Mu, pemenuhan janjiku kepada-Mu, serta demi mengikuti
sunnah Nabi-Mu, Muhammad saw).
Setelah itu, apabila telah mulai berjalan
dalam Thawaf, hendaknya berdzikir, dengan membaca:
d)
Dianjurkan khusus bagi laki-laki yang
mampu secara fisik, dan apabila tidak menyusahkan orang lain,memulai thawaf
dengan berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama, kemudian berjalan biasa
pada empat putaran selanjutnya.
e)
Apabila keadaan memungkinkan, dianjurkan
pula mencium Hajar Aswad dan menyentuhkan tangan (mengusap), akan tetapi apabila tidak memungkinkan, cukuplah dengan menunjuk
kea rah Hajar Aswad dengan kedua telapak tangan terbuka, kemudian mencium
kedua-duanya.
f)
Disunnahkan memperbanyak dzikir dan doa
selama melakukan Thawaf, dengan membaca doa sesuai dengan kebutuhan
masing-masing.
g)
Apabila wudhunya batal di tengah-tengah
Thawaf, lalu ia pergi untuk berwudhu, maka tidak harus mengulangi seluruh
Thawafnya sebelum itu, tetapi cukup dengan mengerjakan sisa putaran yang belum
terlaksana, dan dimulai dari Hajar Aswad.
h)
Thawaf harus terdiri atas tujuh putaran
yang sempurna, tidak boleh kurang dari itu, walaupun satu langkah, dimulai dari
Hajar Aswad, diakhiri pula di Hajar Aswad.
i)
Setelah menyelesaikan tujuh putaran maka
hendaklah menuju Multazam (dinding Ka’bah antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah)
untuk berdoa disana.ketika berdoa disitu, hendaklah melekatkan diri dengan
dinding Ka’bah, bergantung pada tirai-tiranya, dengan perut dan pipi kanan
menempel seraya merentangkan kedua lengan dan telapak tangan di atas dinding
(apabila situasi memungkinkan).
j)
Apabila setelah selesai dari doanya itu,
hendaklah shalat dua rakaat(shalat Thawaf) dibelakang tempat yang disebut Maqam
Ibrahim atau dimana saja. Disunnahkan pada rakaat pertama membaca surah
Al-Kafirun setelah Al-Fatihah, dan pada rakkat kedua surah Al-Ikhlas.
k)
Setelah selesai shalat, disunnahkan
kembali lagi ke Hajar Aswad dan menciumnya, kemudian keluar dari masjid menuju
tempat Sa’iy melalu pintu Shafa.
l)
Dalam perjalanan keluarnya disunnahkan
meminum air Zam-zam.
V.
SA’IY
1.
Sa’iy yakni berjalan di antara bukit
Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali). Hendaknya langsung menuju bukit Shafa.
Disunnahkan menaiki anak tangganya, kira-kira setinggi seorang laki-laki
dewasa, lalu menghadap arah Ka’bah dan bertakbir tiga kali, dan melanjutkan membaca:
2.
Setelah itu memulai perjalanan menuju
bukit Marwah. Mula-mula berjalan dengan langkah biasa, sampai dekat dengan
tanda pertama berwarna hijau. Dari situ khusus bagi laki-laki disunnahkan untuk
mempercepat langkah atau berlari kecil, sehingga sampai tanda kedua berwarna
hijau, lalu berjalan kembali seprti langkah biasa.
3.
Apabila sampai di bukit Marwah,
hendaklah menaikinya seperti yang dilakukan di bukit Shafa. Lalu menghadap
bukit Shafa dan berdoa seperti ketika berada di sana sebelumnya. Dan jika telah
kembali lagi ke bukit Shafa, maka dihitung dua kali. Dan begitulah sampai tujuh
kali lintasan, setiap kali berlari-lari kecil dan berjalan biasa ditempat yang
telah ditentukan di antara Shafa dan Marwah.
4.
Dalam melaksanakan sa’iy ini, tidak
dipersyaratkan dalam keadaan suci dari hadats, walaupun tetap dianjurkan.
5.
Kewajiban Sa’iy hanya satu kali saja
6.
Dengan menyelesaikan kewajiban ber-Sa’iy
ini setelah berthawaf sebelumnya maka seorang yang berumroh hanya tinggal
mencukur atau memotong tiga helai rambutnya,
untuk mengakhiri umrohnya. Dengan demikian ia terbebas kembali dari segala
larangan ihram, seperti mengenakan pakaian berjahit, memakai minyak wangi dan
sebagainya, bahkan juga melakukan hubungan suami isteri. Sedangkan orang yang
sebelumnya telah memilih haji tamattu’,
kini dapat menetap di kota Makkah untuk sementara, dalam keadaan terbebas dari
segala larangan ihram, sambil menunggu hari tarwiyah (8 Dzul-Hijjah), untuk
memulai tugas-tugas hajinya.
7.
Ber-Ihram untuk haji bagi yang telah
selesai ber-umroh, dapat dilakukan dari tempat pemondokan di Makkah (dengan
resiko harus membayar dam), atau boleh juga kembali ke miqat asalnya, dan
ber-Ihram untuk haji dari sana, agar tidak terkena denda dam tamattu’.
VI.
WUKUF
DI ‘ARAFAH
A. Persiapan Menuju ‘Arafah
1.
Pada tanggal 7 Dzul-Hijjah, disunnahkan
bagi imam mengucapkan khutbah yang dilakukan setelah shalat dzuhurdi Masjid’l
Haram. Dalam khutbah tersebut iamengajak para calon haji untuk bersiap-siap
berangkat ke Mina pada keesokan harinya yakni pada tanggal 8 Dzul-Hijjah. Dan
juga mengajari mereka tentang apa saja diantara manask haji yang seyogyannya
mereka ketahui.
2.
Pada tanggal 8 Dzul-Hijjah, keesokan
harinyapara calon haji ini disunnahkan berangkat ke Mina, kalau dapat, segera
setelah selesai mengerjakan shalat subuh di Makkah, agar sampai di Mina sebelum
awal waktu Dzuhur. Di Mina ini pula mereka tinggal, sehingga mengerjakan shalat
dzuhur, asar, maghrib dan isya, kemudian bermalam dan mengerjakan shalat subuh
keesokan harinya (tanggal 9 Dzul-Hijjah).
3.
Setelah selesai mengerjakan shalat subuh
pada hari itu, sebaiknya menunggu sebentar sampai terbitnya matahari, lalu
berangkat menuju Namirah dekat perbatasan ‘Arafah, seraya banyak bertakbir,
bertahlil dan bertalbiyah sepanjang perjalanan. Sesampainya di tempat Namirah
disunnahkan mandi menjelang saat wukuf, kemudian apabila telah masuk waktu
Dzuhur, bershalat jamaah dengan menjamak antara shalat Dzuhur dan Asar. Setelah
itu langsung berangkat lagi, memasuki tempat wukuf di ‘Arafah, seraya tetap
memperbanyak bacaan tahmid, tasbih, dan tahlil.
B. Pelaksanaan Wukuf Di ‘Arafah
1.
Para ulama semuanya sepakat bahwa wukuf
di ‘Arafah merupakan salah satu ‘rukun’ dalam haji, yang harus dikerjakan dan
karenanya tidak dapat digantikan dengan dam. Tanpa itu, haji menjadi tidak sah.
Sabda Nabi Saw dalam hal ini, “Haji itu
adalah ‘Arafah” artinya (Haji yang dianggap sah adalah bagi yang
berkesempatan berdiam[meski hanya sejenak] di ‘Arafah).
2.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu
wukuf dimulai sejak masuknya waktu dzuhur hari ke-9 Dzul-Hijjah sampai saat
fajar menyingsing di hari ke-10 keesokan harinya. Akan tetapi, apabila
seseorang telah berada disana sejak siang hari, maka dianjurkan memperpanjang
wukufnya itu sampai sejenak setelah masuknya waktu maghrib.
3.
Wukuf boleh dilakukan dimana saja, di
tempat yang termasuk dalam kawasan ‘Arafah. Tetapi, kalau mungkin di tempat
yang biasa disebut Ash-Shakharat. Di tempat itulah Nabi Saw pernah berwukuf,
dan bersabda, “Aku berwukuf di sini. Sedangkan padang ‘Arafah ini, semuanya
adalah tempat berwukuf” (HR. Muslim dan Ahmad).
C. Tentang Bukit Jabal Rahmah
Dalam kaitannya dengan wukuf ini,
An-Nawawi menegaskan bahwa adanya
kepercayaan kaum awam bahwa bukit Jabal Rahmah yang terletak di tengah-tengah
‘Arafah adalah tempat paling mulia di ‘Arafah, bahkan orang-orang yang tidak
mengerti mengira bahwa tidak sah wukuf, kecuali di tempat tersebut. Semua itu
adalah waham (perkiraan keliru)
belaka. Karenanya tidak usah bersusah payah mendaki bukit tersebut, tetapi jika
ingin memperoleh keutamaan mengikuti sunnsh Nabi Saw, cukup berdiri di
Ash-Shakharat.
Wukuf sudah cukup memenuhi
persyaratan apabila dilakukan walau hanya sebentar saja, baik dalam keadaan
duduk, tidur, berdiri, berjalan kaki ataupun berkendaraan. Walaupun dalam
keadaan tidak suci dari hadats kecil maupun besar
Selama waktu berwukuf disunnahkan
memperbanyak bacaan dzikir dan istighfar, juga bertalbiyah dan membaca Al-Quran
sebanyak-banyaknya. Dan meyakinkan diri bahwa doanya pasti terkabul.
VII.
BERMALAM
DI MUZDALIFAH DAN MENUJU MINA
1.
Apabila matahari telah tebenam pada hari
ke-9 Dzul-Hijjah di ‘Arafah, tibalah saat para hujjaj meninggalkannya dan
berangkat menuju Muzdalifah. Disunnahkan menta’khirkan shalat maghrib dan
menjamanya dengan shalat isya di muzdalifah.
2.
Dalam perjalanan hendaknya tetap
memperbanyak zikir dan talbiyah.
3.
Apabila telah sampai di Muzdalifah,
hendaklah mengerjakan shalat maghrib yang dijamak ta’khir dengan shalat Isya,
dengan satu kali adzan dan du kali iqamat.
4.
Selesai shalat di sunnahkan tetap
tinggal dan bermalam di Muzdalifah sampai masuk waktu subuh. Kalaupun tidak
dapat bermalam sampai subuh, paling sedikit berhenti sejenak atau melewati saja
sambil berkendaraan, dengan syarat harus pada waktu antara tengah malam dan
fajar.
5.
Ketika berada di Muzdalifah, disunnahkan
mengumpulkan batu-batu kecil untuk pelemparan jomroh sebanyak 49 buah batu.
Walaupun demikian,batu-batu tersebut tidak harus dari Muzdalifah saja, tetapi
boleh diambil dari manapun juga.
6.
Meskipun tidak ada salahnya berangkat
langsung ke Mina, setelah melewati tengah malam di Muzdalifah, namun
disunnahkan untuk tetap tinggal di sana sampai waktu shalat subuh.
7.
Bagi mereka yang tetap tinggal dan
bershalat subuh di awal waktunya di Muzdalifah, disunnahkan segera menuju ke
tempat yang bernama Al-Masy’ar Al-Haram, yaitu yang menurut kebanyakan para
ulama, bukit Quzah di akhir perbatasan Muzdalifah.
VIII.
MELEMPAR
JUMROH AQABAH
1.
Menjelang terbitnya matahari pada
tanggal 10 Dzul-Hijjah, langsung melanjutkan perjalanan ke Mina dengan tenang
dan tanpa menimbulkan keributan apapun, sambil terus-menerus bertakbir dan
berlalbiyahsecara berselang-seling, sesampainya di sana,segera menuju ke
Jumratul-Aqabah yang letaknya agak tinggi di kaki bukit, lalu melemparinya
sebanyak tujuh kali. Setiap lemparan dengan sebuah batu kecil yang dibawa dari
Muzdalifah, jika ada atau dengan batu-batu lainnya. Disunnahkan melempar dengan
menghadap kiblat. Pada setiap lemparan disunnahkan megucapkan takbir:
2.
Waktu sahnya melempar jumroh Aqabah
dimulai tengah malam setelah wukuf, menjelang Yaum An-Nahr (10 Dzul-Hijjah)
3.
Melempar jumroh Aqabah juga bersamaan
dengan kedua jumroh lainnya pada hari-hari Tasyriq merupakan salah satu ‘wajib
haji’ yang jika tidak dilaksanakan, harus diganti dengan membayar dam.
4.
Alat untuk melempar jumroh haruslah yang
berupa batu, tidak dibenarkan menggunakan besi, kayu dan sebagainya.
IX.
URUT-URUTAN
BERBAGAI TUGAS HAJI PADA HARI IDUL-ADHA
A.
Menyembelih Hewan Qurban
Dalam
ibadah haji dikenal dua macam penyembelihan qurban: bad-yu dan dam.
Pertama,
bad-yu; yaitu hewan qurban yang disembelih sebagai sarana taqarrub dalam rangka
ibadah haji. Yang paling utama adalah unta, kemudian sapi, kemudian domba.
Hukumnya sunnah muakadah, dan tidak menjadi wajib kecuali nadzar.
Kedua,
yang berupa denda wajib atau fid-yah atau dam, sebagai akibat pelaksanaan haji
secara qiran atau tamattu’. Atau karena melanggar salah satu dari larangan
ihram.
Adapun
berbagai dam yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Jenis dam yang pertama, berkaitan dengan
pelaksanaan ibadah haji secara tamattu’. Yaitu secara berurutan: menyembelih
seekor domba, atau dibolehkan menggantinya dengan berpuasa sepuluh hari: tiga
hari pada masa haji dan tujuh hari setelah pulang ke negeri tampat tinggalnya.
2.
Jenis dam kedua, adalah yang diwajibkan
sebagai akibat meninggalkan salah satu wjib haji, seperti apabila tidak
ber-ihram dari miqat, tidak melempar jumroh, dan sebagainya. Dalam hal ini, dam
tersebut disamakan dengan dam yang berkaitan dengan haji tamattu’.
3.
Jenis dam ketiga, adalah yang berkaitan
dengan pelanggaran terhadap salah satu larangan ihram seperti mencukur rambut
atau mengenakan pakaian berjahit, memotong kuku, atau memakai minyak wangi
setelah berihram. Dalam membayar dam jenis ini, dibolehkan memilih antara
menyembelih seekor domba atau memberi makanenam orang miskin, masing-masing
setengah sha’( kira-kira 1,5 kg makanan pokok).
4.
Jenis dam keempat yakni yang diwajibkan
atas orang yang melakukan jima (senggama) sebelum tahallul pertama. Jika seseorang
melakukan hal tersebut dengan sengaja, sedangkan dia tahu tentang larangan
melakukannya maka hajinya menjadi batal. Tetapi ia tetap harus meneruskan
hajinya sampai selesai, dan wajib mengqadha tahun depannya atau setelah
berkemampuan mengqadhanya, dan wajib membayar dam berupa menyembelih seekor
unta/sapi/7 ekor domba/mengeluarkan uang seharga seekor unta.
5.
Jenis dam kelima, yaitu yang berkaitan
dengan terhalangnya seseorang dari meneruskan ibadah haji atau umroh setelah
ber-ihram. Apabila hal itu terjadi, baik yang menghalangi muslim ataupuk kafir,
atau disebabkan penyakit yang akan bertambah parah apabila banyak bergerak,
atau karena ketakutan, atau hilangnya bekal, atau matinya seorang mahram, maka
dibolehkan bertahallul (keluar dari ihram) setelah menyembelih seekor domba.
6.
Jenis dam keenam, yaitu yang berkaitan
dengan membunuh binatang buruan yang terlarang bagi orang yang dalam keadaan
ihram. Apabila binatang tersebut memiliki kemiripan atau bandingan dengan salah
satu binatng ternak (bentuk tubuh atau harganya), maka dendanya adalah memilih
antara: berkurban dengan ternak yang sebanding dengan yang dibunuhnya itu atau
dihitung harganya untuk dibelikan makanan dan disedekahkan kepada fakir miskin
di tanah haram, atau boleh juga dengan berpuasa sebanyak harga binatang
tersebut, tiap harga seperempat sha’ (kira-kira 600 gr makanan pokok) diganti
dengan berpuasa sehari.
B.
Mencabut atau Memotong Sehelai Rambut
Menurut
syafi’i, fid-yah (denda tebusan) karena mencabut atau memotong sehelai rambut,
adalah bersedekah dengan satu mud (kira-kira 600gr) makanan pokok. Mencabut
atau memotong dua helai rambut, dendanya dua mud, sedangkan tiga helai atau
lebih, dendanya seekor domba.
C.
Melakukan pelanggaran karena lupa
Apabila
seorang muhrim memakai minyak wangi atau pakaian berjahit dan sebagainya,
karena lupa atau belum mengetahui tentang terlarangnya hal itu, maka tidak ada
kewajiban untuk ber-fidyah atas dirinya.
D.
Beberapa Ketentuan Menyangkut
Penyembelihan Kurban
1.
Hewan untuk kurban hendaklah dipilih
yang tidak bercacat, cukup umurnya, yaitu domba yang telah berumur satu tahun
lebih, sapi atau kerbau 2th atau lebih,
unta 5th atau lebih.
2.
Waktu menyembelih hewan qurban dimulai
setelah selesai melempar jumroh Aqabah.
3.
Menggiring hewan kurban ketika menuju
Makkah, akan tetapi dimasa sekarang , hal itu tentunya sangat sulit dilakukan.
Karenanya cukup membelinya di Mina.
4.
Waktu penyembelihan kurban dimulai
setelah shalat ied sampai hari ketiga tasyriq (13 Dzul-Hijjah), boleh
menyembelihnya dimanapun di tanah haram.
5.
Walaupun boleh diwakilkan kepada orang
lain, namun yang lebih utamanya adalah menyembelihnya sendiri, sambil
mengucapkan:
6.
Dibolehkan memakan sebagian daging
kurbannya itu seperlunya, apabila hasil dari sembelihan yang hukumnya sunnah,
bukan wajib ataupun sebaliknya tidak lebih dari sepertiganya.
X.
MENCUKUR
ATAU MENGGUNTING RAMBUT
Setelah
menyembelih hewan kurban, maka hendaklah laki-laki mencukur seluruh rambut
kepala (itulah yang lebih afdhal), atau cukup menggunting sedikitnya tiga helai
rambutnya.
Adapun
bagi wanita, sunnahnya hanyalah dengan menggunting saja, kira-kira cukup
sepanjang jari, atau kurang dari itu.
XI.
TAHALLUL
PERTAMA
Dengan
telah terlaksananya melempar jumroh dan bercukur, maka orang berhaji kini telah
bertahallul pertama. Artinya, dihalalkan baginya semua hal yang tadinya
terlarang sejak memulai ihramnya, seperti mengenakan pakaian berjahit dan
sebagainya.
Hanya
tinggal berthawaf ifadhah saja baginya untuk dapat bertahallul kedua agar
dengan itu terbebas dari larangan yang masih tersisa. Berkaitan dengan hal itu,
ia dapat memilih antara:
1.
Langsung ke Makkah untuk mengerjakan
Thawaf Ifadhah, lalu kembali lagi ke Mina dan bermalam disana pada hari-hari
tasyriq (tgl 11,12,13 Dzul-Hijjah, atau tgl 11,12 saja).
2.
Atau jika terdapat kesulitan dalam hal
transportasi, atau karena kesehatannya terganggu dan sebagainya, boleh tetap
tinggal di Mina sampai selesainya kewajiban melempar ketiga jumroh pada tanggal
11 dan 12 Dzul-Hijjah, dan baru setelah itu berangkat ke Makkah untuk thawaf
ifadhah.
XII.
TAWAF
IFADHAH
1.
Tawaf ifadhah (tawf rukun/tawaf ziarah)
adalah tawaf yangdianggap sah apabiladilaksanakan setelah wukuf di Arafah, ini
termasuk salah satu rukun haji, apabila tidak dilaksanakan, maka hajinya tida
sah, dan tidak dapat diganti dengan dam.
2.
Apabila telah selesai melakukan
pelemparan jumroh Aqabah dan bercukur, sebaiknya berangkat ke Makkah agar dapat
melaksanakan tawaf ifadhah. Dengan demikian ia dianggap telah terlepas sama
sekali (ber-tahallul kedua) dari semua yang diharamkan.
3.
Waktu dibolehkannya tawaf ifadhah
dimulai sejak setelah tengah malam menjelang hari ke-10 Dzul-Hijjah, namun
paling afdhal adalah antara terbit matahari dan masuknya waktu dzuhur pada
tanggal 10 Dzul-Hijjah.
Adapun
waktu akhirnya tidak terbatas, boleh dilakukannya kapan saja, tetapi selama itu
tetap terlarang baginya melakukan jima’ (senggama), mengingat bahwa ia belum
terlepas sama sekali dari ihramnya.
4.
Cara bertawaf ifadhah adalah sama saja
dengan tawaf qudum atau tawaf untuk umroh.
A.
Mempercepat
Tawaf ifadhah Bagi Kaum Perempuan
Persyaratan
sahnya tawaf adalah suci dari hadats besar, maupun hadats kecil, termasuk pula
suci dari haid dan nifas.
Oleh
sebab itu, apabila situasi dan kondisi memungkinkan, dianjurkan bagi wanita
yang khawatir akan datang waktu haidnya, mempercepat keberangkatannya untuk
bertawaf ifadhah pada pagi hari Idul-Adha (10 Dzul-Hijjah). Bahkan boleh juga
langsung dari Arafah dan sebelum melempar jumroh. Dan setelah itu kembali lagi
ke Mina untuk melempar jumroh Aqabah dan menggunting rambutnya.
Dalam
kaitannya dengan masalah ini, dibolehkan bagi wanita menggunakan obat-obatan
yang aman untuk menunda atau menghentikan haidnya, apabila hal itu diperlukan.
Namun untuk hal ini, sebaiknya meminta saran dan nasihat ahli medis yang
berpengalaman.
B. Melaksanakan Tawaf Ifadhah Dalam
Keadaan Haid
Ketika
seorang perempuan telah berupaya menunda atau menghentikan haidnya dengan
memakan obat-obatan dan sebagainya, namun haidnya tetap datang juga sebelum
sempat melaksanakan tawaf ifadhah, sedangkan ia benar-benar sudah tidak mungkin
tinggal lebih lama lagi karena harus berangkat pulang ke negerinya bersama
rombongannya, maka dapat disebut keadaan darurat dan tetap boleh melakukan
tawaf ifadhah.
XIII.
TAHALLUL
KEDUA
Apabila
seseorang telah mengarjakan melempar jumroh, bercukur dan bertawaf ifadhah maka
kini telah bertahallul kedua, dan dihalalkan kembali bagi semua perbuatan yang
tadinya diharamkan termasuk hubungan seksual.
XIV.
BERMALAM
DI MINA DAN MELEMPAR KETIGA JUMROH
1.
Setelah menyelesaikan tugas melempar
jumroh aqabah, menyembelih hewan qurban dan bercukur, dibolehkan memilih antara
melanjutkan perjalanan untuk berthawaf ifadhah, ataupun tetap tinggal di Mina
untuk melempar ketiga jumrah pada hari-hari tasyrik, baru kembali ke Makkah.
2.
Bagi yang telah berthawaf ifadhah pada
hari ke-10 setelah sebelumnya melempar jumroh aqabah dan bercukur maka kini
telah terbebas dari larangan haji.