Senin, 20 Januari 2014

HAJI DAN UMROH

                                          I.            HAJI DAN UMROH


A.    Pngertian Haji dan Umroh
Haji dalam bahasa Arab : Hajj atau hijj, yng berarti menuju atau mengunjungi sesuatu. Sedangkan menurut istilah agama ialah mengunjungi Ka’bah dan sekitarnya di kota Makkah untuk mengerjakan ibadah thawaf, sa’I, wukuf di Arafah dan sbagainya semata-mata demi melaksanakan perintah Allah dan meraih keridhaan-Nya.
Sedangkan kata ‘Umroh berasal dari I’timar yang berarti ziarah. Yang dimaksud disini adalah menziarahi Ka’bah dan berthawaf di sekelilingnya, bersa’i antara bukit Shafa dan Marwah, serta mencukur (atau memotong) rambut (tanpa wukuf di Arafah).

B.     Persyaratan wajib Haji
Kemampuan yang merupakan salah satu wajib haji meliputi beberapa hal, yaitu:
1.      Kemampuan fisik untu perjalanan menuju Makkah dan mengerjakan kewajiban-kewajiban haji. Seseorang yang tidak memilii kemampuan fisik karena usia lanjut, atau penyakit menahun yang tidak diharapkan kesembuhannya lagi, sedangkan ia mempunyai cukup harta untuk pergi haji, wajib mewakilkan orang lain (biasa disebut badal) untuk berhaji atas namanya, ia sendiri sebelum itu harus telah menunaikan wajib haji atas namanya sendiri.
2.      Perjalanan yang aman ketika pergi dan pulang, terhadap jiwa dan harta seseorang. Seandainya terdapat kekhawatiran adanya kawanan perampok atau wabah penyakit dalam perjalanan, maka ia belum wajib haji karena belum dianggap berkemampuan untuk itu.
3.      Memiliki cukup harta untuk keperluan makanan dan kendaraan untuk dirinya sendiri selama perjalanan, maupun untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan, sampai kembali lagi kepada  mereka.

C.    Izin suami bagi isteri yang menunaikan ibadah haji
Dianjurkan bagi seorang perempuan yang hendak melakukan ibadah haji yang telah wajib atas dirinya, meminta izin dari suaminya. Tapi seandainya suaminya tidak mau memberikan izin, lalu isteri tetap pergi juga, maka ia tidak dianggap berdosa. Hal ini mengingat bahwa seorang suami tidak berhak menghalangi isterinya dari haji yang fardhu. Sedangkan Nabi Muhammad SAW telah menegaskan tentang tidak dibenarkannya menaati seorang makhluk dalam suatu pembangkangan terhadap Allah SWT.
Lain halnya apabila isteri ingin mengerjakan haji tathawwu’ (haji sunnah, setelah ditunaikannya haji wajib). Dalam hal ini suami berhak melarangnya, mengingat sebuah hadits Nabi SAW riwayat ibn umar r.a tentang seorang perempuan yang memiliki harta untuk berhaji, sedangkan sang suami melarang, “ Ia tidak boleh berangkat kecuali seizing suaminya.” (HR.Daruquthni).

D.    Berhaji Dengan Biaya Dari Orang Lain
Seandainya ada orang lain bersedia memberinya semua atau sebagian dari biaya hajinya, maka ia tidak wajib menerimanya, jika hal itu akan membuatnya merasa rendah diri akibat berhutang budi. Karena itu pula, ia boleh saja menolak pemberian seperti itu. Dan dengan penolakannya itu pula ia tidak dapat disebut telah memiliki kemampuan. Walaupun demikian jika ia bersedia menerima pemberian tersebut, lalu melaksanakannya maka hajinya itu tutap sah sebagai hajjat al-islam (sehingga  tidak ada lagi kewajiban berhaji atas dirinya, kecuali jika ia ingin ber-tathawu’).

E.     Berhutang Untuk Haji
Diriwayatkan dari Abdullah bin Aufa bahwa ia pernah bertanya pada Rasulullah Saw tentang seorang yang belum mampu berhaji: apakah ia harus berhutang untuk itu? Jawab beliau, “Tidak”. (HR.Al-Baihaqiy)

F.     Berhaji Dengan Uang Haram
Banyak ulama berpendapat bahwa haji seseorang yang dibiayai dengan uang haram tetap dianggap sah (yakni cukup untuk menggugurkan kewajibannya berhaji), walaupun dosanya tidak terhapus karenanya.
Akan tetapi Imam Ahmad berpendapat bahwa hajinya tidak cukup untuk menggugurkan kewajibannya, mengingat sabda Nabi Saw dalam sebuah hadits shahih: “sungguh Allah adalah Maba baik, tidak menerima kecuali yang baik.”
Oleh sebab itu, wajiblah atas setiap orang membersihkan harta yang akan digunakannya untuk berhaji, dari segala suatu yang syubhat apalagi yang haram. Agar hajinya itu diterima Allah SWT.

G.    Meninggalkan Segala Kemewahan Ketika Sedang Berhaji
Rasulullah Saw melarang orang yang sedang berhaji menampakan kemewahan dan kekayaan, serta cara hidup yang bernikmat-nikmat. (HR. Tirmidzi dan Ibn Majah dari Ibnu Umar).

H.    Fadhilah (Keutamaan) Haji dan Umroh
Dirawikan oleh Abu Hurairah r.a bahwa Nabi Saw pernah bersabda, “Masa antara suatu ibadah umroh dan umroh lainnya, adalah masa kaffarah (penghapus) bagi dosa dan kesalahan yang terjadi diantara kedua-duanya. Sedangkan haji yang mabrur tidak ada ganjarannya kecuali surga. (HR. Bukhari Muslim).

I.       Dalil Wajib Haji
Ibadah Haji diwajibkan berdasarkan firman Allah SWT: “Sesunggyhnya rumah Ibadah yang mula pertama dibangun bagi manusia adalah yang berada di Bakkah (Makkah), yang diberkahi dan dijadikan petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim. Siapa saja yang memasukinya, akan mendapati dirinya aman. Dan sesungguhnya mengunjungi rumah itu (untuk berhaji) adalah kewajiban yang ditetapkan Allah atas manusia yang memiliki kemampuan  melakukan perjalanan kepadanya. Dan barangsiapa mengingkari (kewajiban tersebut), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS Ali Imran:96-97)
Dalam hadits Nabi pun ibadah haji merupakan salah satu diantara lima rukun islam: “Islam dibangun atas lima dasar; syahadat, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusanNya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan Haji. (HR Bukhari dan Muslim).


                                                                                                                        II.            PELAKSANAAN MANASIK  HAJI
A.    Miqat Zamani (Batasan Waktu dimulainya Ibadah Haji)
Miqat Zamani adalah waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan bagi pelaksanaan Ibadah Haji yaitu bulan Syawal, Dzul-Qi’dah dan sepuluh malam pertama bulan Dzul-Hijjah (sampai sebelum terbit fajar tanggal sepuluh Dzul-Hijjah atau biaasa disebut (yaum an-nahr).
Sebabnya, diantara rukun-rukun haji adalah wukuf di Arafah yang waktunya berakhir dengan terbitnya fajar tanggal sepuluh Dzul-Hijjah. Maka barangsiapa baru memulai ihram setelah itu maka hajinya dinilai tidak sah karena meninggalkan salah satu rukun, yaitu wukuf di Arafah. Adapun ihramnya itu secara otomatis menjadi ihram untuk umroh. Ia diharuskan mengerjakan rukun-rukun umroh dan menyembelih seekor domba sebagai dam.
Dan pada tahun berikutnya bila taka da hambatan yang serius menghalanginya ia wajib mengqadha’ (mengulang dan memulai lagi) hajinya secara sempurna.
      
B.     Miqat Makani (Batasan tempat dimulainya ibadah haji)
Ada beberapa tempat tertentu, yang oleh Rasululloh SAW telah dinyatakan sebagai Miqat makani, tempat yang tidak boleh dilewati oleh seseorang yang hendak berhaji, kecuali dalam keadaan telah berihram. Kalaupun ia melewatinya tanpa berikhram, mak wajiblah ia kembali lagi ke tempat itu untuk berikhram. Atau jika tidak ia diwajibkan membayar dam untuk menggantikan pelanggrannya itu. Tempat miqat makani tersebut adalah:
1.      Dzu’l-hulaifah (kini disebut birali; kira-kira 450 km dari makkah) untuk jamaah haji yang datang dari arah kota Madinah.
2.      Juhfah (kira-kira 187 km dari Makkah) untuk jamaah haji yang datang dari arah Syam. Kini tempat itu sudah rusak dan digantikan dengan rabigh (kira-kira 204 km dari Makkah) untuk jamaah haji dari arah Syam, Mesir dan yang sejajar dengannya.
3.      Qarn Al-Manazil (sebuah bukit, kira-kira 94 km sebelah timur Makkah) untu jamaah haji yang datang dari arah nejed dan yang sejajar dengan itu.
4.      Yalamlam (kira-kira 54 km dari Makkah) untuk para jamaah haji yang datantg langsung dari arah Yaman, India, Indonesia dan yang searah dengan itu).
(berdasarkan ijtihad sebagian para ulama Indonesia, dimasa sekarang ini, Miqat jamaah haji dari Indonesia, terutama yang datang dengan pesawat udara, adalah kota Jedah di Saudi Arabia.
5.      Dzatu ‘irq (kira-kira 94 km dari Makkah) untuk para jamaah haji yang datang dari Irak dan yang sejajar dengannya.
Adapun penduduk yang dari kota Makkah, boleh ber-ihram dari rumah mereka masing-masing.

C.    Rukun dan Wajib dalam Ibadah Haji
Rukun adalah sesuatu yang tidak sah haji kecuali dengan mengerjakannya dan tidak boleh diganti dengan dam, diantaranya:
1.      Ihram (niat haji)
2.      Tawaf ifadhah
3.      Sa’iy antara bukit Shafa dan Marwah
4.      Wukuf di Arafah
5.      Mencukur atau memotong sedikitnya tiga helai rambut.
Wajib adalah sesuatu yang harus dikerjakan, walaupun sahnya haji tidak bergantung padanya. Tetapi jika tidak dikerjakan harus diganti dengan dam. (menyembelih seekor hewan ternak). Yang termasuk wajib haji adalah:
1.      Ihram dari miqat
2.      Melontar ketiga jumrah (jumrah ula, wustha dan Aqabah)
3.      Mencukur atau memotong sedikitnya tiga helai rambut.


                                     III.            IHRAM (NIAT MEMULAI IBADAH HAJI ATAU UMROH)
Ihram adalah niat untuk mulai memasuki ibadah haji atau umroh. Ihram merupakan salah satu rukun haji dan umroh seperti hal nya niat dalam ibadah shalat, puasa dan sebagainya, tida boleh ditinggalkan dan bergantung padanya sah atau tidaknya ibadah tersebut.

A.    Berbagai Persiapan Sebelum Ihram
1.      Menjaga kebersihan tubuh. Yaitu dengan menyisiri rambut, merapikan  kumis dan jenggot, memotong kuku, menghilangkan bulu-bulu di bawah lengan dan disekitar kemaluan serta berwudhu, atau lebih utama lagi mandi, seperti mandi janabat. Mandi menjelang ihram ini, disebut juga mandi ihram.
Bahkan seorang perempuan yang dalam keadaan haid dan hendak berihram pun, dianjurkan untuk “mandi ihram”.
2.      Khusus untuk laki-laki, menanggalkan semua pakaian yang berjahit (atau yang melingkungi, seperti sarung, celana, kemeja, dan sebagainya), lalu menggantikannya dengan dua potong pakaian putih yang biasa disebut ‘pakaian ihram’. Yaitu satu untuk dililitkan sekitar bagian bawah tubuhnya, dan yang satu lagi di bagian atas tubuhnya.
Adapun bagi perempuan, berpakaian seperti biasayang menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
3.      Disunnahkan memakai wangi-wangian pada tubuh maupun pakaian.
4.      Shalat dua rakaat dengan meniatkannya sebagai sunnah ihram; pada rakaat pertama membaca surat Al-Fatihah dan Al-Kafirun, dan pada rakaat kedua membaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlas.

B.     Berbagai Cara Berihram
Ada tiga cara berihram untuk mulai memasuki ibadah haji:
1.      Qiran
Ialah ber-ihram dari miqat untuk haji dan umroh bersama-sama. Dengan cara ini cukuplah mengerjakan bagian-bagian dari manasik ibadah haji saja, sedangkan tugas-tugas umroh secara otomatis terdapat di dalamnya.
2.      Tamattu’
Ialah mengerjakan umroh pada bulan-bulan haji yakni (pada bulan Syawal, Dzul-Qi’dah, dan sepuluh malam pertama bulan Dzul-Hijjah lalu diikuti dengan ihram haji itu juga.
Dalam haji Tamattu’ ini apabila seseorang telah selesai mengerjakan semua manasik umrohnya ( berthawaf, ber-sa’iy, dan mencukur atau menggunting rambut), ia boleh melepas pakaian ihram dan melakukan apa saja yang tadinya terlarang, seprti mengenakan pakaian berjahit, memakai wangi-wangian dan sebagainya), bahkan melakukan hubungan seksual dengan isteri, sambil menunggu saat memulai tugas ibadah haji.
Cara tamattu’ ini biasanya dipilih oleh para jamaah haji yang tiba di Makkah pada hari-hari yang masih agak jauh saat wukuf di Arafah
Sedangkan mereka yang tibanya di Makkah pada hari-hari terakhir, seperti pada tanggal 8 Dzul-Hijjah, atau satu dua hari sebelumnya, biasanya langsung berihram dengan haji, dan kelak setelah selesai mengerjakan seluruh bagian dari ibadah hajinya, baru berihram lagi untuk umroh.
3.      Ifrad
Yakni mengerjakan masing-masing bagian ibadah haji dan umroh sendiri-sendiri.
Bagi yang mengerjakan cara pertama dan kedua, yakni Qiran dan Tamattu’, diwajibkan menyembelih seekor domba sebagai pengganti ‘keringanan’ yang diperolehnya, sedangkan cara Ifrad tidak perlu membayar dam, kecuali jika ia melakukan pelanggaran lain pada pelaksanaan hajinya itu.

C.    Berniat (Ber-Ihram) dan mengumandangkan Talbiyah
Niat merupakan perbuatan hati semata-mata, dengan ucapan lisan, misalnya: Nawaitu’l hajja wa ahramtu bihi lillahi ta’ala (Aku berniat mengerjakan ibadah haji, dan berihram untuknya, karena Allah semata-mata).
Atau jika berniat umroh, ia mengucapkan: Nawaitu’l umrota wa ahramtu biha lillahi ta’ala (Aku berniat mengerjakan ibadah umroh dan berihram untuknya, karena Allah semata-mata).
Setelah itu melanjutinya dengan Talbiyah, yaitu menyerukan:




(Inilah aku, memenuhi panggilan-Mu dan senantiasa patuh kepada-Mu ya Allah. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku di sini, memenuhi panggilan-Mu dan senantiasa patuh kepada-Mu, ya Allah. Segala puji dan syukur atas nikmat adalah bagi-Mu, milik-Mu lah segala suatunya. Tiada sekutu bagi-Mu).
Waktu bertalbiyah ialah sejak dimulainya ihram (untuk haji) sampai dengan saat melempar jumroh Aqabah (pada hari ke-10 Dzul-Hijjah). Disunnahkan bagi laki-laki bertalbiyah dengan suara yang keras, sedangkan perempun dengan suara yang cukup didengar sendiri.
Adapun waktu menyerukan Talbiyah bagi yang umroh adalah sejak ihram sampai ketika mulai thawaf.

D.    Larangan Setelah Ihram
1.      Mengenakan pakaian berjahit dan menutup kepala atau mengenakan sepatu, kecuali memakai sandal yang tidak menutupi mata kaki seperti sandal jepit
Adapun wanita memakai pakaian penutup aurat seperti biasa, tetapi selama dalam ihram terlarang pula menutup wajahnya (dengan cadar, kecuali tidak menyentuh wajah secara langsung).
2.      Memakai wangi-wangian pada tubuh atau pakaian, atau mengenakan pakaian yang dicelup dengan bahan pewangi, kecuali sisa bau harum dan wangi-wangian yang dipakainya sebelum ihram.
3.      Memotong kuku, menghilangkan rambut atau bulu badan yang lain dengan menggunting atau mencukur, kecuali terpaksa karena gangguan yang tak tertahankan.
4.      Melakukan perbuatan yang mengarah pada hubungan seksual antara suami isteri, seperti mencium, memeluk, meyentuh dengan syahwat. Bahkan terlarang pula menyebut sesuatu yang berkaitan dengan hubungan seksual.
5.      Mengakadkan nikah, baik untuk diri sendiri ataupun untuk dan atas nama orang lain. Kalau tetap saja dilaksanakan, maka nikah tersebut tidak sah.
6.      Berburu dan membunuh binatang darat yang liar dan halal dimakan.
Tetapi dibolehkan bagi seorang muhrim membunuh binatang yang mengganggu, seperti ular, kalajengking, tikus, kutu dan sebagainya.

                                   IV.            Tawaf
Tawaf (thawaf) ialah mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali dengan berbagai persyaratan tertentu. Ada beberapa macam jenis thawaf:
1.      Thawaf Qudum (thawaf yang berkaitan dengan kedatangan seseorang yang telah berihram untuk haji ifrad atau qiran ke kota Makkah).
2.      Thawaf umroh (yang dilakukan seseorang yang telah berihram untuk umroh).
3.      Thawaf ifadhah (salah satu rukun haji yang dilakukan setelah wukuf di Arafah).
4.      Thawaf wada’ (thawaf perpisahan ketika seseorang akan pulang ke negerinya sendiri setelah menyelesaikan ibadah hajinya).
5.      Thawaf tathawwu’ (yang disunnahkan melakukannya kapan saja, atau setiap memasuki Masjid’l Haram).

A.    Memasuki Masjid’l-Haram di Makkah
Bagi yang memasuki Masjid’l Haram disunnahkan melakukan hal-hal berikut:
a)      Memasuki masjid’l haram melalui pintu Babus-Salam (Bab Bani Syaibah) dengan khusyu, seraya membaca:




(Dengan menyebut nama Allah, atas perkenan Allah, dari Allah, kepada Allah, di jalan Allah dan di atas agama yang dibawa oleh rasulullah saw)
b)      Pada saat melihat Ka’bah di hadapannya, hendaknya mengangat kedua tangan seraya berdoa:




(Ya Allah tambahkanlah pada rumah ini kemuliaan, keagungan, kehormatan dan kewibawaan. Dan tambahkanlah bagi siapa yang mengunjunginya dalam haji atau umroh kemuliaan, kehormatan keagungan dan kebajikan)
c)      Setelah itu langsung menuju Hajar Aswad (batu hitam yang berada di salah satu sudut Ka’bah) an menciumnya tanpa suara, sambil membaca:


(Ya Allah, demi keimanan kepada Mu, demi pembenaran atas kitab Mu, dan demi memenuhi perjanjian dengan Mu).
d)     Setelah itu berdiri di samping Hajar Aswad untuk memulai Thawaf. (Di Masjid’l Haram tidak disyariatkan untuk melakukan shalat tahiyyat al-masjid ketika memasukinya, seperti di masjid-masjid lainnya. Sebagai gantinya perbuatan yang dilakukan adalah Thawwaf. Kecuali pada ssat itu sedang dilaksanakan shalat fardhu berjamaah maka, hendaklah shalat bersama mereka, dan baru setelah itu memulai Thawaf. Atau waktu  untuk shalat fardhu sudah mendesak, maka harus dilaksanakan terlebih dahulu, sebelum keluar waktunya).
Thawaf pertama kali ini bagi seorang yang berihram untuk haji ifrad atau qiran, disebut Thawaf Qudum (Thawaf karena kedatangan), hukumnya sunnah.
Sedangkan bagi yang ber-ihram untuk umroh, tawafnya ini merupakan bagian dari rukun-rukun umrohnya.  
                 
B.     Cara Melaksanakan Thawaf
a)      Suci dari hadas
b)      Bagi laki-laki disunnahkan untuk memperbaiki letak kain ihram nya. Bersamaan dengan dimulainya Thawaf, talbiyah dihentikan. Sebagai gantinya membaca doa-doa Thawaf.
c)      Setelah itu berdiri sedikit di belakang Hajar Aswad, dengan menjadikan Ka’bah disebelah kiri kemudian melangkah ke depan, memulai Thawaf dengan melewati Hajar Aswad, seraya mengucapkan:


(Bismillah, Allahu Akbar. Ya Allah, kulakukan ini sebagai pernyataan keimananku kepada-Mu, pembenaran atas kitab-Mu, pemenuhan janjiku kepada-Mu, serta demi mengikuti sunnah Nabi-Mu, Muhammad saw).
  Setelah itu, apabila telah mulai berjalan dalam Thawaf, hendaknya berdzikir, dengan membaca:


d)     Dianjurkan khusus bagi laki-laki yang mampu secara fisik, dan apabila tidak menyusahkan orang lain,memulai thawaf dengan berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama, kemudian berjalan biasa pada empat putaran selanjutnya.
e)      Apabila keadaan memungkinkan, dianjurkan pula mencium Hajar Aswad dan menyentuhkan tangan (mengusap), akan tetapi apabila tidak memungkinkan, cukuplah dengan menunjuk kea rah Hajar Aswad dengan kedua telapak tangan terbuka, kemudian mencium kedua-duanya.
f)       Disunnahkan memperbanyak dzikir dan doa selama melakukan Thawaf, dengan membaca doa sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
g)      Apabila wudhunya batal di tengah-tengah Thawaf, lalu ia pergi untuk berwudhu, maka tidak harus mengulangi seluruh Thawafnya sebelum itu, tetapi cukup dengan mengerjakan sisa putaran yang belum terlaksana, dan dimulai dari Hajar Aswad.
h)      Thawaf harus terdiri atas tujuh putaran yang sempurna, tidak boleh kurang dari itu, walaupun satu langkah, dimulai dari Hajar Aswad, diakhiri pula di Hajar Aswad.
i)        Setelah menyelesaikan tujuh putaran maka hendaklah menuju Multazam (dinding Ka’bah antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah) untuk berdoa disana.ketika berdoa disitu, hendaklah melekatkan diri dengan dinding Ka’bah, bergantung pada tirai-tiranya, dengan perut dan pipi kanan menempel seraya merentangkan kedua lengan dan telapak tangan di atas dinding (apabila situasi memungkinkan).
j)        Apabila setelah selesai dari doanya itu, hendaklah shalat dua rakaat(shalat Thawaf) dibelakang tempat yang disebut Maqam Ibrahim atau dimana saja. Disunnahkan pada rakaat pertama membaca surah Al-Kafirun setelah Al-Fatihah, dan pada rakkat kedua surah Al-Ikhlas.
k)      Setelah selesai shalat, disunnahkan kembali lagi ke Hajar Aswad dan menciumnya, kemudian keluar dari masjid menuju tempat Sa’iy melalu pintu Shafa.
l)        Dalam perjalanan keluarnya disunnahkan meminum air Zam-zam.

                                        V.            SA’IY
1.      Sa’iy yakni berjalan di antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali). Hendaknya langsung menuju bukit Shafa. Disunnahkan menaiki anak tangganya, kira-kira setinggi seorang laki-laki dewasa, lalu menghadap arah Ka’bah dan bertakbir tiga kali, dan melanjutkan membaca:



2.      Setelah itu memulai perjalanan menuju bukit Marwah. Mula-mula berjalan dengan langkah biasa, sampai dekat dengan tanda pertama berwarna hijau. Dari situ khusus bagi laki-laki disunnahkan untuk mempercepat langkah atau berlari kecil, sehingga sampai tanda kedua berwarna hijau, lalu berjalan kembali seprti langkah biasa.
3.      Apabila sampai di bukit Marwah, hendaklah menaikinya seperti yang dilakukan di bukit Shafa. Lalu menghadap bukit Shafa dan berdoa seperti ketika berada di sana sebelumnya. Dan jika telah kembali lagi ke bukit Shafa, maka dihitung dua kali. Dan begitulah sampai tujuh kali lintasan, setiap kali berlari-lari kecil dan berjalan biasa ditempat yang telah ditentukan di antara Shafa dan Marwah.
4.      Dalam melaksanakan sa’iy ini, tidak dipersyaratkan dalam keadaan suci dari hadats, walaupun tetap dianjurkan.
5.      Kewajiban Sa’iy hanya satu kali saja
6.      Dengan menyelesaikan kewajiban ber-Sa’iy ini setelah berthawaf sebelumnya maka seorang yang berumroh hanya tinggal mencukur  atau memotong tiga helai rambutnya, untuk mengakhiri umrohnya. Dengan demikian ia terbebas kembali dari segala larangan ihram, seperti mengenakan pakaian berjahit, memakai minyak wangi dan sebagainya, bahkan juga melakukan hubungan suami isteri. Sedangkan orang yang sebelumnya telah memilih haji tamattu’, kini dapat menetap di kota Makkah untuk sementara, dalam keadaan terbebas dari segala larangan ihram, sambil menunggu hari tarwiyah (8 Dzul-Hijjah), untuk memulai tugas-tugas hajinya.
7.      Ber-Ihram untuk haji bagi yang telah selesai ber-umroh, dapat dilakukan dari tempat pemondokan di Makkah (dengan resiko harus membayar dam), atau boleh juga kembali ke miqat asalnya, dan ber-Ihram untuk haji dari sana, agar tidak terkena denda dam tamattu’.

                                     VI.            WUKUF DI ‘ARAFAH
A.    Persiapan Menuju ‘Arafah
1.      Pada tanggal 7 Dzul-Hijjah, disunnahkan bagi imam mengucapkan khutbah yang dilakukan setelah shalat dzuhurdi Masjid’l Haram. Dalam khutbah tersebut iamengajak para calon haji untuk bersiap-siap berangkat ke Mina pada keesokan harinya yakni pada tanggal 8 Dzul-Hijjah. Dan juga mengajari mereka tentang apa saja diantara manask haji yang seyogyannya mereka ketahui.
2.      Pada tanggal 8 Dzul-Hijjah, keesokan harinyapara calon haji ini disunnahkan berangkat ke Mina, kalau dapat, segera setelah selesai mengerjakan shalat subuh di Makkah, agar sampai di Mina sebelum awal waktu Dzuhur. Di Mina ini pula mereka tinggal, sehingga mengerjakan shalat dzuhur, asar, maghrib dan isya, kemudian bermalam dan mengerjakan shalat subuh keesokan harinya (tanggal 9 Dzul-Hijjah).
3.      Setelah selesai mengerjakan shalat subuh pada hari itu, sebaiknya menunggu sebentar sampai terbitnya matahari, lalu berangkat menuju Namirah dekat perbatasan ‘Arafah, seraya banyak bertakbir, bertahlil dan bertalbiyah sepanjang perjalanan. Sesampainya di tempat Namirah disunnahkan mandi menjelang saat wukuf, kemudian apabila telah masuk waktu Dzuhur, bershalat jamaah dengan menjamak antara shalat Dzuhur dan Asar. Setelah itu langsung berangkat lagi, memasuki tempat wukuf di ‘Arafah, seraya tetap memperbanyak bacaan tahmid, tasbih, dan tahlil.
B.     Pelaksanaan Wukuf Di ‘Arafah
1.      Para ulama semuanya sepakat bahwa wukuf di ‘Arafah merupakan salah satu ‘rukun’ dalam haji, yang harus dikerjakan dan karenanya tidak dapat digantikan dengan dam. Tanpa itu, haji menjadi tidak sah. Sabda Nabi Saw dalam hal ini, “Haji itu adalah ‘Arafah” artinya (Haji yang dianggap sah adalah bagi yang berkesempatan berdiam[meski hanya sejenak] di ‘Arafah).
2.      Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu wukuf dimulai sejak masuknya waktu dzuhur hari ke-9 Dzul-Hijjah sampai saat fajar menyingsing di hari ke-10 keesokan harinya. Akan tetapi, apabila seseorang telah berada disana sejak siang hari, maka dianjurkan memperpanjang wukufnya itu sampai sejenak setelah masuknya waktu maghrib.
3.      Wukuf boleh dilakukan dimana saja, di tempat yang termasuk dalam kawasan ‘Arafah. Tetapi, kalau mungkin di tempat yang biasa disebut Ash-Shakharat. Di tempat itulah Nabi Saw pernah berwukuf, dan bersabda, “Aku berwukuf di sini. Sedangkan padang ‘Arafah ini, semuanya adalah tempat berwukuf” (HR. Muslim dan Ahmad).

C.    Tentang Bukit Jabal Rahmah
            Dalam kaitannya dengan wukuf ini, An-Nawawi menegaskan bahwa  adanya kepercayaan kaum awam bahwa bukit Jabal Rahmah yang terletak di tengah-tengah ‘Arafah adalah tempat paling mulia di ‘Arafah, bahkan orang-orang yang tidak mengerti mengira bahwa tidak sah wukuf, kecuali di tempat tersebut. Semua itu adalah waham (perkiraan keliru) belaka. Karenanya tidak usah bersusah payah mendaki bukit tersebut, tetapi jika ingin memperoleh keutamaan mengikuti sunnsh Nabi Saw, cukup berdiri di Ash-Shakharat.
            Wukuf sudah cukup memenuhi persyaratan apabila dilakukan walau hanya sebentar saja, baik dalam keadaan duduk, tidur, berdiri, berjalan kaki ataupun berkendaraan. Walaupun dalam keadaan tidak suci dari hadats kecil maupun besar
            Selama waktu berwukuf disunnahkan memperbanyak bacaan dzikir dan istighfar, juga bertalbiyah dan membaca Al-Quran sebanyak-banyaknya. Dan meyakinkan diri bahwa doanya pasti terkabul.

                                  VII.            BERMALAM DI MUZDALIFAH DAN MENUJU MINA
1.      Apabila matahari telah tebenam pada hari ke-9 Dzul-Hijjah di ‘Arafah, tibalah saat para hujjaj meninggalkannya dan berangkat menuju Muzdalifah. Disunnahkan menta’khirkan shalat maghrib dan menjamanya dengan shalat isya di muzdalifah.
2.      Dalam perjalanan hendaknya tetap memperbanyak zikir dan talbiyah.
3.      Apabila telah sampai di Muzdalifah, hendaklah mengerjakan shalat maghrib yang dijamak ta’khir dengan shalat Isya, dengan satu kali adzan dan du kali iqamat.
4.      Selesai shalat di sunnahkan tetap tinggal dan bermalam di Muzdalifah sampai masuk waktu subuh. Kalaupun tidak dapat bermalam sampai subuh, paling sedikit berhenti sejenak atau melewati saja sambil berkendaraan, dengan syarat harus pada waktu antara tengah malam dan fajar.
5.      Ketika berada di Muzdalifah, disunnahkan mengumpulkan batu-batu kecil untuk pelemparan jomroh sebanyak 49 buah batu. Walaupun demikian,batu-batu tersebut tidak harus dari Muzdalifah saja, tetapi boleh diambil dari manapun juga.
6.      Meskipun tidak ada salahnya berangkat langsung ke Mina, setelah melewati tengah malam di Muzdalifah, namun disunnahkan untuk tetap tinggal di sana sampai waktu shalat subuh.
7.      Bagi mereka yang tetap tinggal dan bershalat subuh di awal waktunya di Muzdalifah, disunnahkan segera menuju ke tempat yang bernama Al-Masy’ar Al-Haram, yaitu yang menurut kebanyakan para ulama, bukit Quzah di akhir perbatasan Muzdalifah.

                               VIII.            MELEMPAR JUMROH AQABAH
1.      Menjelang terbitnya matahari pada tanggal 10 Dzul-Hijjah, langsung melanjutkan perjalanan ke Mina dengan tenang dan tanpa menimbulkan keributan apapun, sambil terus-menerus bertakbir dan berlalbiyahsecara berselang-seling, sesampainya di sana,segera menuju ke Jumratul-Aqabah yang letaknya agak tinggi di kaki bukit, lalu melemparinya sebanyak tujuh kali. Setiap lemparan dengan sebuah batu kecil yang dibawa dari Muzdalifah, jika ada atau dengan batu-batu lainnya. Disunnahkan melempar dengan menghadap kiblat. Pada setiap lemparan disunnahkan megucapkan takbir:




2.      Waktu sahnya melempar jumroh Aqabah dimulai tengah malam setelah wukuf, menjelang Yaum An-Nahr (10 Dzul-Hijjah)
3.      Melempar jumroh Aqabah juga bersamaan dengan kedua jumroh lainnya pada hari-hari Tasyriq merupakan salah satu ‘wajib haji’ yang jika tidak dilaksanakan, harus diganti dengan membayar dam.
4.      Alat untuk melempar jumroh haruslah yang berupa batu, tidak dibenarkan menggunakan besi, kayu dan sebagainya.


                                     IX.            URUT-URUTAN BERBAGAI TUGAS HAJI PADA HARI IDUL-ADHA
A.    Menyembelih Hewan Qurban
Dalam ibadah haji dikenal dua macam penyembelihan qurban: bad-yu dan dam.
Pertama, bad-yu; yaitu hewan qurban yang disembelih sebagai sarana taqarrub dalam rangka ibadah haji. Yang paling utama adalah unta, kemudian sapi, kemudian domba. Hukumnya sunnah muakadah, dan tidak menjadi wajib kecuali nadzar.
Kedua, yang berupa denda wajib atau fid-yah atau dam, sebagai akibat pelaksanaan haji secara qiran atau tamattu’. Atau karena melanggar salah satu dari larangan ihram.
Adapun berbagai dam yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      Jenis dam yang pertama, berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji secara tamattu’. Yaitu secara berurutan: menyembelih seekor domba, atau dibolehkan menggantinya dengan berpuasa sepuluh hari: tiga hari pada masa haji dan tujuh hari setelah pulang ke negeri tampat tinggalnya.
2.      Jenis dam kedua, adalah yang diwajibkan sebagai akibat meninggalkan salah satu wjib haji, seperti apabila tidak ber-ihram dari miqat, tidak melempar jumroh, dan sebagainya. Dalam hal ini, dam tersebut disamakan dengan dam yang berkaitan dengan haji tamattu’.
3.      Jenis dam ketiga, adalah yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap salah satu larangan ihram seperti mencukur rambut atau mengenakan pakaian berjahit, memotong kuku, atau memakai minyak wangi setelah berihram. Dalam membayar dam jenis ini, dibolehkan memilih antara menyembelih seekor domba atau memberi makanenam orang miskin, masing-masing setengah sha’( kira-kira 1,5 kg makanan pokok).
4.      Jenis dam keempat yakni yang diwajibkan atas orang yang melakukan jima (senggama) sebelum tahallul pertama. Jika seseorang melakukan hal tersebut dengan sengaja, sedangkan dia tahu tentang larangan melakukannya maka hajinya menjadi batal. Tetapi ia tetap harus meneruskan hajinya sampai selesai, dan wajib mengqadha tahun depannya atau setelah berkemampuan mengqadhanya, dan wajib membayar dam berupa menyembelih seekor unta/sapi/7 ekor domba/mengeluarkan uang seharga seekor unta.
5.      Jenis dam kelima, yaitu yang berkaitan dengan terhalangnya seseorang dari meneruskan ibadah haji atau umroh setelah ber-ihram. Apabila hal itu terjadi, baik yang menghalangi muslim ataupuk kafir, atau disebabkan penyakit yang akan bertambah parah apabila banyak bergerak, atau karena ketakutan, atau hilangnya bekal, atau matinya seorang mahram, maka dibolehkan bertahallul (keluar dari ihram) setelah menyembelih seekor domba.
6.      Jenis dam keenam, yaitu yang berkaitan dengan membunuh binatang buruan yang terlarang bagi orang yang dalam keadaan ihram. Apabila binatang tersebut memiliki kemiripan atau bandingan dengan salah satu binatng ternak (bentuk tubuh atau harganya), maka dendanya adalah memilih antara: berkurban dengan ternak yang sebanding dengan yang dibunuhnya itu atau dihitung harganya untuk dibelikan makanan dan disedekahkan kepada fakir miskin di tanah haram, atau boleh juga dengan berpuasa sebanyak harga binatang tersebut, tiap harga seperempat sha’ (kira-kira 600 gr makanan pokok) diganti dengan berpuasa sehari.

B.     Mencabut atau Memotong Sehelai Rambut
Menurut syafi’i, fid-yah (denda tebusan) karena mencabut atau memotong sehelai rambut, adalah bersedekah dengan satu mud (kira-kira 600gr) makanan pokok. Mencabut atau memotong dua helai rambut, dendanya dua mud, sedangkan tiga helai atau lebih, dendanya seekor domba.

C.     Melakukan pelanggaran karena lupa
Apabila seorang muhrim memakai minyak wangi atau pakaian berjahit dan sebagainya, karena lupa atau belum mengetahui tentang terlarangnya hal itu, maka tidak ada kewajiban untuk ber-fidyah atas dirinya.

D.    Beberapa Ketentuan Menyangkut Penyembelihan Kurban
1.      Hewan untuk kurban hendaklah dipilih yang tidak bercacat, cukup umurnya, yaitu domba yang telah berumur satu tahun lebih, sapi atau kerbau 2th  atau lebih, unta 5th atau lebih.
2.      Waktu menyembelih hewan qurban dimulai setelah selesai melempar jumroh Aqabah.
3.      Menggiring hewan kurban ketika menuju Makkah, akan tetapi dimasa sekarang , hal itu tentunya sangat sulit dilakukan. Karenanya cukup membelinya di Mina.
4.      Waktu penyembelihan kurban dimulai setelah shalat ied sampai hari ketiga tasyriq (13 Dzul-Hijjah), boleh menyembelihnya dimanapun di tanah haram.
5.      Walaupun boleh diwakilkan kepada orang lain, namun yang lebih utamanya adalah menyembelihnya sendiri, sambil mengucapkan:



6.      Dibolehkan memakan sebagian daging kurbannya itu seperlunya, apabila hasil dari sembelihan yang hukumnya sunnah, bukan wajib ataupun sebaliknya tidak lebih dari sepertiganya.

                                        X.            MENCUKUR ATAU MENGGUNTING RAMBUT
Setelah menyembelih hewan kurban, maka hendaklah laki-laki mencukur seluruh rambut kepala (itulah yang lebih afdhal), atau cukup menggunting sedikitnya tiga helai rambutnya.
Adapun bagi wanita, sunnahnya hanyalah dengan menggunting saja, kira-kira cukup sepanjang jari, atau kurang dari itu.
                                     XI.            TAHALLUL PERTAMA
Dengan telah terlaksananya melempar jumroh dan bercukur, maka orang berhaji kini telah bertahallul pertama. Artinya, dihalalkan baginya semua hal yang tadinya terlarang sejak memulai ihramnya, seperti mengenakan pakaian berjahit dan sebagainya.
Hanya tinggal berthawaf ifadhah saja baginya untuk dapat bertahallul kedua agar dengan itu terbebas dari larangan yang masih tersisa. Berkaitan dengan hal itu, ia dapat memilih antara:
1.      Langsung ke Makkah untuk mengerjakan Thawaf Ifadhah, lalu kembali lagi ke Mina dan bermalam disana pada hari-hari tasyriq (tgl 11,12,13 Dzul-Hijjah, atau tgl 11,12 saja).
2.      Atau jika terdapat kesulitan dalam hal transportasi, atau karena kesehatannya terganggu dan sebagainya, boleh tetap tinggal di Mina sampai selesainya kewajiban melempar ketiga jumroh pada tanggal 11 dan 12 Dzul-Hijjah, dan baru setelah itu berangkat ke Makkah untuk thawaf ifadhah.

       
                                  XII.            TAWAF IFADHAH
1.      Tawaf ifadhah (tawf rukun/tawaf ziarah) adalah tawaf yangdianggap sah apabiladilaksanakan setelah wukuf di Arafah, ini termasuk salah satu rukun haji, apabila tidak dilaksanakan, maka hajinya tida sah, dan tidak dapat diganti dengan dam.
2.      Apabila telah selesai melakukan pelemparan jumroh Aqabah dan bercukur, sebaiknya berangkat ke Makkah agar dapat melaksanakan tawaf ifadhah. Dengan demikian ia dianggap telah terlepas sama sekali (ber-tahallul kedua) dari semua yang diharamkan.
3.      Waktu dibolehkannya tawaf ifadhah dimulai sejak setelah tengah malam menjelang hari ke-10 Dzul-Hijjah, namun paling afdhal adalah antara terbit matahari dan masuknya waktu dzuhur pada tanggal 10 Dzul-Hijjah.
Adapun waktu akhirnya tidak terbatas, boleh dilakukannya kapan saja, tetapi selama itu tetap terlarang baginya melakukan jima’ (senggama), mengingat bahwa ia belum terlepas sama sekali dari ihramnya.
4.      Cara bertawaf ifadhah adalah sama saja dengan tawaf qudum atau tawaf untuk umroh.
      
A.    Mempercepat Tawaf ifadhah Bagi Kaum Perempuan
Persyaratan sahnya tawaf adalah suci dari hadats besar, maupun hadats kecil, termasuk pula suci dari haid dan nifas.
Oleh sebab itu, apabila situasi dan kondisi memungkinkan, dianjurkan bagi wanita yang khawatir akan datang waktu haidnya, mempercepat keberangkatannya untuk bertawaf ifadhah pada pagi hari Idul-Adha (10 Dzul-Hijjah). Bahkan boleh juga langsung dari Arafah dan sebelum melempar jumroh. Dan setelah itu kembali lagi ke Mina untuk melempar jumroh Aqabah dan menggunting rambutnya.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, dibolehkan bagi wanita menggunakan obat-obatan yang aman untuk menunda atau menghentikan haidnya, apabila hal itu diperlukan. Namun untuk hal ini, sebaiknya meminta saran dan nasihat ahli medis yang berpengalaman.
                                           
B.     Melaksanakan Tawaf Ifadhah Dalam Keadaan Haid
Ketika seorang perempuan telah berupaya menunda atau menghentikan haidnya dengan memakan obat-obatan dan sebagainya, namun haidnya tetap datang juga sebelum sempat melaksanakan tawaf ifadhah, sedangkan ia benar-benar sudah tidak mungkin tinggal lebih lama lagi karena harus berangkat pulang ke negerinya bersama rombongannya, maka dapat disebut keadaan darurat dan tetap boleh melakukan tawaf ifadhah.

                               XIII.            TAHALLUL KEDUA
Apabila seseorang telah mengarjakan melempar jumroh, bercukur dan bertawaf ifadhah maka kini telah bertahallul kedua, dan dihalalkan kembali bagi semua perbuatan yang tadinya diharamkan termasuk hubungan seksual.
                               XIV.            BERMALAM DI MINA DAN MELEMPAR KETIGA JUMROH
1.      Setelah menyelesaikan tugas melempar jumroh aqabah, menyembelih hewan qurban dan bercukur, dibolehkan memilih antara melanjutkan perjalanan untuk berthawaf ifadhah, ataupun tetap tinggal di Mina untuk melempar ketiga jumrah pada hari-hari tasyrik, baru kembali ke Makkah.
2.      Bagi yang telah berthawaf ifadhah pada hari ke-10 setelah sebelumnya melempar jumroh aqabah dan bercukur maka kini telah terbebas dari larangan haji.